20120604

(Fanfic) Deep in My Heart



Title     : Deep in My Heart
Genre  : Angst, Romance
Rate     : PG-15
Length : Oneshot
Cast     : Kim Jaejoong
              Kisa





Gadis itu…
Aku bertemu gadis itu tepat setahun yang lalu, ketika aku, Yunho, dan Yoochun tengah berlibur di Sapporo, Jepang.



Pagi itu, dengan terpaksa aku tidak bisa ikut dengan Yunho dan Yoochun berwisata ski karena tiba-tiba saja suhu badanku naik. Sungguh sial. Padahal tujuan utamaku berlibur ke Sapporo adalah untuk menikmati wisata skinya, bukannya tinggal sendirian di penginapan asing, di tempat yang tak seorang pun kukenal.

Kuaduk minuman hangatku sembari memandang ke luar, melalui jendela kaca yang cukup besar di sampingku. Terlihat di luar sana butiran salju tengah bergulir indah dari langit, membentuk bentangan putih maha luas di halaman penginapan, di atap, maupun di dahan-dahan pohon. Kuamati dengan seksama pemandangan itu. Setiap butir salju yang turun, langit yang sedikit mendung. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa tenggelam dalam keadaan itu. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari proses alam yang sedang terjadi, dimana salju jatuh semakin lebat, langit yang tadinya biru tergulung oleh mendung hitam seakan hari hampir malam, dan angin tiba-tiba berhembus sangat kencang, mengirimkan hawa dingin yang menusuk tulang. Kaca jendela perlahan menjadi buram oleh uap air, membeku karena suhu yang turun dengan cepat. Seketika itu pula aku terhenyak dari lamunanku, tercengang ketika menyadari bahwa telah terjadi badai salju di luar sana.


“ Boleh aku duduk di sini?”, tanya seseorang tiba-tiba. Aku menoleh pada orang yang berdiri tepat di samping mejaku itu. Kulihat seorang gadis tengah tersenyum.

“ Meja yang lain sudah penuh. Boleh aku duduk di sini?”, tanyanya lagi sambil menunjuk kursi di depanku. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan cafe penginapan. Penuh. Mungkin karena terlalu terbawa pemandangan di luar sana, aku sampai tidak menyadari kedatangan orang-orang itu, orang-orang yang mungkin terjebak di penginapan karena badai salju.

Kembali kupandang gadis yang tengah menunggu jawabanku itu sambil kemudian mengangguk. Senyumnya mengembang dengan indah begitu aku mempersilahkannya duduk.


Itulah awal pertemuanku dengannya, sebuah pertemuan yang sama sekali tidak istimewa. Bayangkan saja, aku terkurung di penginapan karena demam, dan ia tidak bisa pergi keluar penginapan karena badai salju. Dua orang yang sama-sama terjebak dalam situasi tak terduga, hal seperti itu, apanya yang istimewa?

Kami semakin akrab ketika pada hari-hari selanjutnya kami sering bertemu, karena ternyata ia juga menginap di penginapan yang sama. Ya, hanya untuk beberapa hari selanjutnya saja karena aku harus segera kembali ke Korea bersama Yunho dan Yoochun.


Namanya Kisa, seorang gadis Shibuya yang manis, ceria dan tentu saja, ia cantik. Kecantikannya berbeda dari gadis-gadis Jepang lain. Mungkin karena ia bukan asli Jepang, melainkan keturunan Korea-Jepang. Dan hanya itu segelintir hal yang kuketahui tentangnya sebelum aku kembali ke Korea.

Kisa…
Gadis itulah alasan utamaku pindah ke Jepang. Toh aku juga baru saja lulus kuliah dan orang tuaku pasti tidak akan peduli dengan apa yang kulakukan. Itu konyol, tapi memang begitulah kenyataannya. Ketertarikan dan keinginanku untuk dekat dengannya lah yang membuatku nekat tinggal sendirian di Jepang. Aku seperti kecanduan gadis itu, aku terlalu menikmati hari-hariku dengannya ketika masih di Sapporo. Ia sangat menarik. Dan setiap waktu yang berlalu tanpanya terasa kurang, terasa asing.

Kisa, aku merasa dia berbeda dari gadis-gadis lain. Entahlah, aku sendiri tidak bisa mendeskripsikan apa itu. Tapi yang pasti, ia mempunyai magnet yang membuatku selalu ingin bersamanya. Ia membuatku merasakan perasaan yang berbeda.

Aku ingat ketika suatu hari ia merawatku yang sedang demam. Aku memang mudah sekali demam, apalagi setiap pergantian musim yang menyebabkan perubahan suhu. Dialah yang berkunjung ke apartemenku setiap hari untuk menjenguk, merawat dan membawakanku makanan. Dialah yang dengan sabar mengompres dahiku dengan handuk basah. Perhatiannya itu…perlahan membuatku menganggapnya seperti malaikat. Seorang malaikat manis yang dikirimkan Tuhan untukku yang telah kehilangan kasih sayang dari orang tua. Malaikat yang akan menjagaku dari segala sesuatu yang buruk di dunia ini. Malaikat yang harus kucintai.

Ya, mungkin sejak saat itulah aku menyadari bahwa aku memang mencintainya. Aku bukan hanya menyukai, lebih dari itu, aku mencintainya. Aku mulai menganggapnya sebagai bagian dari hidupku, sebagian dari nyawaku, matahari jiwaku. Perasaan cinta inilah yang membuatku takut kehilangan dia, takut jikalau suatu hari nanti aku harus hidup di dunia yang tidak ada dirinya. Aku takut jika suatu saat tidak bisa lagi melihatnya tertawa riang sembari mengarahkan handycam-nya padaku setiap kali kami pergi bersama. Rasa takut itulah yang selama ini menyiksaku untuk memeluknya.


Tapi tidak. Aku tidak bisa. Ia bukan milikku. Ia bukan gadisku, meskipun ia juga bukan gadis orang lain. Sungguh, sebenarnya aku ingin memilikkinya, menjadikan ia pegangan hidupku sepenuhnya. Tapi aku tidak mau berlaku egois seperti itu. Aku tidak mau merasa memonopoli seorang gadis yang usianya baru 19 tahun, tepat 3 tahun lebih muda dariku. Bukankah gadis seperti Kisa lebih menginginkan kebebasan berteman daripada menjalin hubungan dengan seorang laki-laki? Lebih dari itu, sebenarnya aku takut kalau kalau ia akan menghindariku begitu ia tahu aku punya perasaan yang berbeda padanya. Aku takut ia menjauhiku. Aku takut kehilangan senyumnya yang selalu mencerahkan jiwaku. Dan aku tidak mau mengambil resiko akan hal itu. Pengecut! Dasar Jaejoong pengecut!


Waktu terus berputar dengan takdir yang berjalan mengiringinya, mendampingi setiap detik jarum yang berputar. Dan begitulah hubunganku dengan malaikatku itu, terus berjalan, terus mengikuti kemana arah angin membawa kami tanpa mencoba untuk melawan. Hubungan kami yang hanya sebatas teman itu terus berjalan mengikuti pola takdir, mengalir apa adanya.

Aku tahu aku sangat mencintainya, dan bagaimana pun juga, aku ingin ia mengetahui perasaanku ini suatu saat, perasaan yang selalu mendobrak-dobrak pintu hatiku. Tentu saja, sepengecut apa pun aku, keinginan untuk mengungkapkan perasaan itu selalu ada. Tidak akan kubiarkan perasaan yang selalu kujaga ini begitu saja hilang, tenggelam tertelan waktu. Dan semua itu tinggal menunggu keberanianku saja.



Aku masih ingat ketika di suatu malam, aku terbangun, terengah-engah karena mimpi buruk tentangnya.


Mimpi itu…
…benar-benar sangat buruk, bahkan terlalu buruk untuk sekedar mengingat bahwa aku pernah memimpikannya. Tidak, aku tidak ingin mengingatnya sama sekali. Ingatan tentang mimpi itu berusaha kuhapus seluruhnya. Tapi saat itu, ketakutan terlanjur menyelimutiku. Kemudian tanpa sadar aku telah mengambil selembar kertas, kemudian menuliskan mimpi itu di sana, menggoreskan pena dengan lancar seolah aku tengah bercerita kepadanya. Dan tanpa kusadari pula, perasaan terpendam ini ikut tertuang di dalamnya, di antara plot-plot mimpiku yang menakutkan.

Kubaca kembali setiap kata yang tertulis, dan aku cukup terkejut menemukan curahan perasaanku sendiri di dalamnya. Tapi perasaan itulah yang saat itu dengan kuat membujukku untuk segera mengungkapkannya pada gadis itu.

‘Akan kutemui ia tepat tengah malam di hari ulang tahunnya, 2 hari lagi’, begitulah tekadku saat itu.







Lalu kejadian buruk itu…

Aku merasa bersalah karena kebodohanku, karena kepengecutanku, dan karena semuanya. Akulah yang menyuruhnya untuk menungguku di depan menara putih, tempat biasa kami bertemu. Akulah yang memutuskan untuk melakukannya tengah malam, di saat segenap kegelapan memuncak. Aku jugalah yang terlambat berangkat dari rumah karena rasa kantuk yang tiba-tiba meringkus, membuatku memacu mobil di jalanan dengan sangat cepat demi mengejar waktu. Dan dengan bodohnya, aku tidak mengurangi kecepatan saat berbelok di jalan dekat menara, di atas aspal jalanan yang licin karena derasnya hujan. Kehilangan kendali kemudi membuat mobilku tergelincir, berputar tanpa arah dengan menghasilkan suara mesin yang memekakkan telinga, membuat jantung siapa pun yang mendengarnya berpacu berkali-kali lipat.


Sempat kulihat gadis yang kucintai itu berdiri menungguku di depan menara putih, berteduh dari hujan dengan bersandar di dinding menara. Wajahnya…aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya karena kaca mobil yang basah oleh hujan.


Mobil hitam yang kukemudikan itu terus berputar tak beraturan sebelum akhirnya terpental ketika menyentuh pembatas jalan dan menabrak sebuah bangunan.




Kisa…
…kini gadis itu tengah menangis di sampingku, terisak-isak menahan tangisnya agar tidak lebih meledak lagi. Aku bisa merasakan air matanya dengan deras mengalir di pipinya hingga membasahi lengan bajuku. Suara isakannya itu membuat hatiku ngilu. Aku merasa begitu bersalah karena telah membuatnya menangis sampai sedemikian rupa. Perasaan bersalah ini…andai sekarang aku mampu menangis, aku pasti telah menangis.


Seandainya tangan ini mampu bergerak, aku pasti telah mendekapnya dalam pelukanku untuk sekedar menenangkannya. Namun sayang, tidak ada yang kurasakan dalam tubuhku. Aku bahkan tidak tahu apakah saat ini jantungku masih berdetak atau tidak. Apakah saat ini darahku masih mengalir di sepanjang pembuluh untuk menyuplai nyawa kehidupanku atau tidak. Aku tidak dapat merasakan apa pun pada tubuhku, kecuali sentuhan wajah Kisa yang terbenam di samping lenganku dan mendengar derasnya hujan di luar sana.

Kucoba untuk sedikit menghirup udara. Dingin. Perasaan lega sedikit menghampiriku karena ternyata aku masih hidup, selamat dari peristiwa maut itu.

Dingin…

Aku senang bisa merasakannya. Mungkin sekarang adalah malam hari, entah masih malam yang sama dengan peristiwa buruk itu atau sudah malam berikutnya, aku tidak tahu. Yang kutahu, bahwa hanya Kisa lah yang sekarang menemaniku di sini, di ruangan yang kukira adalah kamar rumah sakit in. Lagipula, aku tidak menemukan suara lain selain suara isak tangisnya di sini.


Perlahan kurasakan sebuah tangan lembut menyentuh tanganku, menyusupkan jemari-jemari lentiknya di antara jemari-jemariku yang lemah. Tangan lembut itu…aku benar-benar merasa familiar dengannya meski hanya pernah beberapa kali menggandengnya. Itu tangan malaikatku…

Ia mengenggam tanganku, seolah menyambungkan harapan hidupku yang sudah terlalu tipis ini dengan harapannya. Begitu tenang dan nyaman ketika ia dengan perlahan mengeratkan genggamannya, memegangiku dari perasaan putus asa. Sebuah energi baru seolah mendorongku agar membuka mata, melihat wajah gadis yang begitu kucintai itu, mengajakku untuk mengetahui mengapa ia menangis sampai sedemikian rupa.


Sekuat mungkin, kubuka kedua mataku, lalu kulihat wajah manisnya yang berurai air mata. Ia mengembangkan senyumnya ketika melihatku membuka mata.


Kisa…ia masih terlihat begitu cantik meskipun sedang menangis.

Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung pernah mengenalnya, berbicara dengannya, mendengar gelak tawanya, serta menghabiskan banyak waktuku bersamanya. Aku merasa beruntung karena Tuhan pernah mempertemukan kami, lalu mengijinkanku memilikki perasaan ini, meskipun pada akhirnya aku tidak sempat menyatakannya karena ternyata Tuhan tidak memberiku waktu lebih lama lagi. Semua kenangan kami, setiap detik yang kami lewati, semua itu kini berputar di otakku seperti sebuah rekaman masa lalu dalam warna hitam putih, terasa seperti…mimpi.

            Kupandangi Kisa, kuamati setiap lekuk wajahnya sembari menyimpannya dalam ingatanku. Matanya yang kecoklatan, hidungnya yang mancung, bibirnya yang indah, serta kulitnya yang begitu putih. Sejenak ingin kupastikan bahwa hari-hari yang sudah berlalu itu bukan hanya sekedar mimpi.
  
“ Jaejoong-ah, jangan pergi…”, ucapnya di tengah isakan.

 Kucoba untuk menjawabnya, namun tidak ada sedikit suara pun yang keluar dari mulutku. Suaraku tercekat. Pada akhirnya, aku hanya bisa menjawab dengan sebuah senyuman. Senyuman yang aku sendiri tidak tahu artinya, apakah itu senyum bahagia karena ia begitu mengkhawatirkanku, atau senyum sedih karena tahu waktuku tidak akan lama.
Sedetik kemudian, kurasakan ia menghambur memelukku, menangis tepat di dekat telingaku. Pelukannya membuat hatiku semakin sakit karena perasaan nelangsa, karena aku tidak mampu berkata apa-apa lagi padanya. Namun di sisi lain, aku merasa begitu damai dalam pelukan gadis yang kucintai ini, untuk yang pertama sekaligus terakhir kalinya.

Dan tiba-tiba aku merasa ikhlas untuk melepas semuanya…Aku ikhlas menyerahkan jiwaku pada kematian…


Tuhan, jika Engkau ingin mengambilku sekarang, maka ambillah aku. Biarkan aku menanti gadis ini di sana lebih dulu…

Tak apa jika Engkau memang tidak memberiku kesempatan untuk mengatakan perasaan ini, toh memang akulah yang telah menyia-nyiakan waktu 1 tahun itu. Aku sungguh tidak peduli jika perasaan ini berakhir tanpa ia mengetahuinya. Aku juga tidak peduli jika surat yang kutulis malam itu tidak sempat terbaca olehnya. Surat itu…kini mungkin masih tertinggal di tempat itu, lalu akhirnya hilang ditelan kegelapan malam bersama rangkaian kata-kata yang kutulis di dalamnya.

Tapi satu hal yang kuinginkan saat ini, Tuhan. Satu hal yang akan kujadikan sebagai permintaan terakhirku sebelum hati ini benar-benar membisu.

Aku ingin agar ia selalu mengenangku, mengingat bahwa seorang Kim Jaejoong yang bodoh pernah hidup di dunia yang bising ini dengan umurnya yang pendek. Ia pernah berdiri di antara miliyaran orang di bumi, lalu bertemu dengan seorang gadis bernama Kisa dan menghabiskan 1 tahun terakhirnya bersama gadis itu. Aku ingin ia mengingat bahwa Kim Jaejoong yang bodoh ini pernah menemaninya melihat festival kembang api ketika masih bisa bernafas. Aku tidak ingin memori keberadaanku hilang begitu saja ditelan waktu, tanpa meninggalkan apapun.

Tuhan…
Aku mencintai gadis ini lebih dari aku mencintai denyut nadiku sendiri, lebih dari aku mencintai nafasku sendiri. Gadis yang tengah memelukku ini, ia telah menjadi bagian dari hidupku. Lebih dari itu, ia adalah separuh nyawaku. Karena itu, biarkanlah ia menikmati indahnya dunia ini jauh lebih lama dariku. Aku ingin menitipkan sisa-sisa semangat hidupku padanya, berharap ia sempat mengecap kebahagiaan di dunia ini. Dan dengan begitu aku akan tenang melihatnya dari sana.

Masih banyak harapan yang ingin kusampaikan, tapi suara hati ini semakin lama semakin melirih, dan akhirnya membisu. Suara isakannya tidak lagi terdengar di telingaku, tergantikan oleh keheningan abadi yang menakutkan. Air mata tiba-tiba saja mengalir dari sudut mataku seiring perasaan damai yang semakin menarikku tenggelam ke dalamnya. Dan aku tahu, waktuku telah habis.

***




A/N : Comment Please!!!

No comments:

Post a Comment