Title :
Deep
in My Heart
Genre :
Angst, Romance
Rate :
PG-15
Length :
Oneshot
Cast :
Kim Jaejoong
Kisa
Gadis itu…
Aku bertemu
gadis itu tepat setahun yang lalu, ketika aku, Yunho, dan Yoochun tengah berlibur di Sapporo, Jepang.
Pagi itu, dengan
terpaksa aku tidak bisa ikut dengan Yunho dan Yoochun berwisata ski karena tiba-tiba saja suhu
badanku naik. Sungguh sial. Padahal tujuan utamaku berlibur ke Sapporo adalah untuk
menikmati wisata skinya, bukannya tinggal sendirian di penginapan asing, di
tempat yang tak seorang pun kukenal.
Kuaduk minuman
hangatku sembari memandang ke luar, melalui jendela kaca yang cukup besar di
sampingku. Terlihat di luar sana
butiran salju tengah bergulir indah dari langit, membentuk bentangan putih maha
luas di halaman penginapan, di atap, maupun di dahan-dahan pohon. Kuamati
dengan seksama pemandangan itu. Setiap butir salju yang turun, langit yang sedikit
mendung. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa tenggelam dalam keadaan itu. Aku tidak
bisa mengalihkan pandangan dari proses alam yang sedang terjadi, dimana salju jatuh
semakin lebat, langit yang tadinya biru tergulung oleh mendung hitam seakan
hari hampir malam, dan angin tiba-tiba berhembus sangat kencang, mengirimkan hawa
dingin yang menusuk tulang. Kaca jendela perlahan menjadi buram oleh uap air,
membeku karena suhu yang turun dengan cepat. Seketika itu pula aku terhenyak
dari lamunanku, tercengang ketika menyadari bahwa telah terjadi badai salju di
luar sana .
“ Boleh aku
duduk di sini?”, tanya seseorang tiba-tiba. Aku menoleh pada orang yang berdiri
tepat di samping mejaku itu. Kulihat seorang gadis tengah tersenyum.
“ Meja yang
lain sudah penuh. Boleh aku duduk di sini?”, tanyanya lagi sambil menunjuk
kursi di depanku. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan cafe penginapan. Penuh.
Mungkin karena terlalu terbawa pemandangan di luar sana , aku sampai tidak menyadari kedatangan
orang-orang itu, orang-orang yang mungkin terjebak di penginapan karena badai
salju.
Kembali
kupandang gadis yang tengah menunggu jawabanku itu sambil kemudian mengangguk. Senyumnya
mengembang dengan indah begitu aku mempersilahkannya duduk.
Itulah awal pertemuanku
dengannya, sebuah pertemuan yang sama sekali tidak istimewa. Bayangkan saja, aku
terkurung di penginapan karena demam, dan ia tidak bisa pergi keluar penginapan
karena badai salju. Dua orang yang sama-sama terjebak dalam situasi tak
terduga, hal seperti itu, apanya yang istimewa?
Kami semakin
akrab ketika pada hari-hari selanjutnya kami sering bertemu, karena ternyata ia
juga menginap di penginapan yang sama. Ya, hanya untuk beberapa hari
selanjutnya saja karena aku harus segera kembali ke Korea bersama Yunho dan Yoochun.
Namanya Kisa,
seorang gadis Shibuya yang manis, ceria dan tentu saja, ia cantik.
Kecantikannya berbeda dari gadis-gadis Jepang lain. Mungkin karena ia bukan
asli Jepang, melainkan keturunan Korea-Jepang. Dan hanya itu segelintir hal
yang kuketahui tentangnya sebelum aku kembali ke Korea .
Kisa…
Gadis itulah
alasan utamaku pindah ke Jepang. Toh aku juga baru saja lulus kuliah dan orang
tuaku pasti tidak akan peduli dengan apa yang kulakukan. Itu konyol, tapi memang
begitulah kenyataannya. Ketertarikan dan keinginanku untuk dekat dengannya lah
yang membuatku nekat tinggal sendirian di Jepang. Aku seperti kecanduan gadis
itu, aku terlalu menikmati hari-hariku dengannya ketika masih di Sapporo . Ia sangat
menarik. Dan setiap waktu yang berlalu tanpanya terasa kurang, terasa asing.
Kisa, aku
merasa dia berbeda dari gadis-gadis lain. Entahlah, aku sendiri tidak bisa
mendeskripsikan apa itu. Tapi yang pasti, ia mempunyai magnet yang membuatku
selalu ingin bersamanya. Ia membuatku merasakan perasaan yang berbeda.
Aku ingat
ketika suatu hari ia merawatku yang sedang demam. Aku memang mudah sekali
demam, apalagi setiap pergantian musim yang menyebabkan perubahan suhu. Dialah
yang berkunjung ke apartemenku setiap hari untuk menjenguk, merawat dan
membawakanku makanan. Dialah yang dengan sabar mengompres dahiku dengan handuk
basah. Perhatiannya itu…perlahan membuatku menganggapnya seperti malaikat. Seorang
malaikat manis yang dikirimkan Tuhan untukku yang telah kehilangan kasih sayang
dari orang tua. Malaikat yang akan menjagaku dari segala sesuatu yang buruk di
dunia ini. Malaikat yang harus kucintai.
Ya, mungkin
sejak saat itulah aku menyadari bahwa aku memang mencintainya. Aku bukan hanya
menyukai, lebih dari itu, aku mencintainya. Aku mulai menganggapnya sebagai bagian dari hidupku, sebagian
dari nyawaku, matahari jiwaku. Perasaan cinta inilah yang membuatku takut
kehilangan dia, takut jikalau suatu hari nanti aku harus hidup di dunia yang
tidak ada dirinya. Aku takut jika suatu saat tidak bisa lagi melihatnya tertawa
riang sembari mengarahkan handycam-nya padaku setiap kali kami pergi bersama.
Rasa takut itulah yang selama ini menyiksaku untuk memeluknya.
Tapi tidak. Aku
tidak bisa. Ia bukan milikku. Ia bukan gadisku, meskipun ia juga bukan gadis
orang lain. Sungguh, sebenarnya aku ingin memilikkinya, menjadikan ia pegangan
hidupku sepenuhnya. Tapi aku tidak mau berlaku egois seperti itu. Aku tidak mau
merasa memonopoli seorang gadis yang usianya baru 19 tahun, tepat 3 tahun lebih
muda dariku. Bukankah gadis seperti Kisa lebih menginginkan kebebasan berteman
daripada menjalin hubungan dengan seorang laki-laki? Lebih dari itu, sebenarnya
aku takut kalau kalau ia akan menghindariku begitu ia tahu aku punya perasaan
yang berbeda padanya. Aku takut ia menjauhiku. Aku takut kehilangan senyumnya
yang selalu mencerahkan jiwaku. Dan aku tidak mau mengambil resiko akan hal
itu. Pengecut! Dasar Jaejoong pengecut!
Waktu terus
berputar dengan takdir yang berjalan mengiringinya, mendampingi setiap detik
jarum yang berputar. Dan begitulah hubunganku dengan malaikatku itu, terus
berjalan, terus mengikuti kemana arah angin membawa kami tanpa mencoba untuk melawan.
Hubungan kami yang hanya sebatas teman itu terus berjalan mengikuti pola
takdir, mengalir apa adanya.
Aku tahu aku
sangat mencintainya, dan bagaimana pun juga, aku ingin ia mengetahui perasaanku
ini suatu saat, perasaan yang selalu mendobrak-dobrak pintu hatiku. Tentu saja,
sepengecut apa pun aku, keinginan untuk mengungkapkan perasaan itu selalu ada.
Tidak akan kubiarkan perasaan yang selalu kujaga ini begitu saja hilang,
tenggelam tertelan waktu. Dan semua itu tinggal menunggu keberanianku saja.
Aku masih ingat
ketika di suatu malam, aku terbangun, terengah-engah karena mimpi buruk
tentangnya.
Mimpi itu…
…benar-benar sangat buruk, bahkan terlalu
buruk untuk sekedar mengingat bahwa aku pernah memimpikannya. Tidak, aku tidak
ingin mengingatnya sama sekali. Ingatan tentang mimpi itu berusaha kuhapus
seluruhnya. Tapi saat itu, ketakutan terlanjur menyelimutiku. Kemudian tanpa
sadar aku telah mengambil selembar kertas, kemudian menuliskan mimpi itu di sana , menggoreskan pena
dengan lancar seolah aku tengah bercerita kepadanya. Dan tanpa kusadari pula,
perasaan terpendam ini ikut tertuang di dalamnya, di antara plot-plot mimpiku
yang menakutkan.
Kubaca kembali
setiap kata yang tertulis, dan aku cukup terkejut menemukan curahan perasaanku
sendiri di dalamnya. Tapi perasaan itulah yang saat itu dengan kuat membujukku
untuk segera mengungkapkannya pada gadis itu.
‘Akan kutemui
ia tepat tengah malam di hari ulang tahunnya, 2 hari lagi’, begitulah tekadku
saat itu.
Lalu kejadian buruk itu…
Aku merasa
bersalah karena kebodohanku, karena kepengecutanku, dan karena semuanya. Akulah
yang menyuruhnya untuk menungguku di depan menara putih, tempat biasa kami
bertemu. Akulah yang memutuskan untuk melakukannya tengah malam, di saat
segenap kegelapan memuncak. Aku jugalah yang terlambat berangkat dari rumah
karena rasa kantuk yang tiba-tiba meringkus, membuatku memacu mobil di jalanan
dengan sangat cepat demi mengejar waktu. Dan dengan bodohnya, aku tidak
mengurangi kecepatan saat berbelok di jalan dekat menara, di atas aspal jalanan
yang licin karena derasnya hujan. Kehilangan kendali kemudi membuat mobilku
tergelincir, berputar tanpa arah dengan menghasilkan suara mesin yang memekakkan
telinga, membuat jantung siapa pun yang mendengarnya berpacu berkali-kali lipat.
Sempat kulihat
gadis yang kucintai itu berdiri menungguku di depan menara putih, berteduh dari
hujan dengan bersandar di dinding menara. Wajahnya…aku sama sekali tidak bisa
melihat wajahnya karena kaca mobil yang basah oleh hujan.
Mobil hitam
yang kukemudikan itu terus berputar tak beraturan sebelum akhirnya terpental
ketika menyentuh pembatas jalan dan menabrak sebuah bangunan.
Kisa…
…kini gadis itu
tengah menangis di sampingku, terisak-isak menahan tangisnya agar tidak lebih
meledak lagi. Aku bisa merasakan air matanya dengan deras mengalir di pipinya
hingga membasahi lengan bajuku. Suara isakannya itu membuat hatiku ngilu. Aku
merasa begitu bersalah karena telah membuatnya menangis sampai sedemikian rupa.
Perasaan bersalah ini…andai sekarang aku mampu menangis, aku pasti telah
menangis.
Seandainya
tangan ini mampu bergerak, aku pasti telah mendekapnya dalam pelukanku untuk
sekedar menenangkannya. Namun sayang, tidak ada yang kurasakan dalam tubuhku. Aku
bahkan tidak tahu apakah saat ini jantungku masih berdetak atau tidak. Apakah
saat ini darahku masih mengalir di sepanjang pembuluh untuk menyuplai nyawa
kehidupanku atau tidak. Aku tidak dapat merasakan apa pun pada tubuhku, kecuali
sentuhan wajah Kisa yang terbenam di samping lenganku dan mendengar derasnya
hujan di luar sana .
Kucoba untuk
sedikit menghirup udara. Dingin. Perasaan lega sedikit menghampiriku karena
ternyata aku masih hidup, selamat dari peristiwa maut itu.
Dingin…
Aku senang bisa
merasakannya. Mungkin sekarang adalah malam hari, entah masih malam yang sama
dengan peristiwa buruk itu atau sudah malam berikutnya, aku tidak tahu. Yang
kutahu, bahwa hanya Kisa lah yang sekarang menemaniku di sini, di ruangan yang
kukira adalah kamar rumah sakit in.
Lagipula, aku tidak menemukan suara lain selain suara isak tangisnya di sini.
Perlahan
kurasakan sebuah tangan lembut menyentuh tanganku, menyusupkan jemari-jemari
lentiknya di antara jemari-jemariku yang lemah. Tangan lembut itu…aku
benar-benar merasa familiar dengannya meski hanya pernah beberapa kali
menggandengnya. Itu tangan malaikatku…
Ia mengenggam
tanganku, seolah menyambungkan harapan hidupku yang sudah terlalu tipis ini
dengan harapannya. Begitu tenang dan nyaman ketika ia dengan perlahan
mengeratkan genggamannya, memegangiku dari perasaan putus asa. Sebuah energi
baru seolah mendorongku agar membuka mata, melihat wajah gadis yang begitu
kucintai itu, mengajakku untuk mengetahui mengapa ia menangis sampai sedemikian
rupa.
Sekuat mungkin,
kubuka kedua mataku, lalu kulihat wajah manisnya yang berurai air mata. Ia mengembangkan
senyumnya ketika melihatku membuka mata.
Kisa…ia masih
terlihat begitu cantik meskipun sedang menangis.
Tiba-tiba aku
merasa sangat beruntung pernah mengenalnya, berbicara dengannya, mendengar gelak
tawanya, serta menghabiskan banyak waktuku bersamanya. Aku merasa beruntung
karena Tuhan pernah mempertemukan kami, lalu mengijinkanku memilikki perasaan
ini, meskipun pada akhirnya aku tidak sempat menyatakannya karena ternyata
Tuhan tidak memberiku waktu lebih lama lagi. Semua kenangan kami, setiap detik
yang kami lewati, semua itu kini berputar di otakku seperti sebuah rekaman masa
lalu dalam warna hitam putih, terasa seperti…mimpi.
Kupandangi
Kisa, kuamati setiap lekuk wajahnya sembari menyimpannya dalam ingatanku. Matanya
yang kecoklatan, hidungnya yang mancung, bibirnya yang indah, serta kulitnya
yang begitu putih. Sejenak ingin kupastikan bahwa hari-hari yang sudah berlalu
itu bukan hanya sekedar mimpi.
“ Jaejoong-ah,
jangan pergi…”, ucapnya di tengah isakan.
Kucoba untuk menjawabnya, namun tidak ada
sedikit suara pun yang keluar dari mulutku. Suaraku tercekat. Pada akhirnya,
aku hanya bisa menjawab dengan sebuah senyuman. Senyuman yang aku sendiri tidak
tahu artinya, apakah itu senyum bahagia karena ia begitu mengkhawatirkanku,
atau senyum sedih karena tahu waktuku tidak akan lama.
Sedetik
kemudian, kurasakan ia menghambur memelukku, menangis tepat di dekat telingaku.
Pelukannya membuat hatiku semakin sakit karena perasaan nelangsa, karena aku
tidak mampu berkata apa-apa lagi padanya. Namun di sisi lain, aku merasa begitu
damai dalam pelukan gadis yang kucintai ini, untuk yang pertama sekaligus
terakhir kalinya.
Dan tiba-tiba
aku merasa ikhlas untuk melepas semuanya…Aku ikhlas menyerahkan jiwaku pada kematian…
Tuhan, jika Engkau ingin mengambilku sekarang, maka
ambillah aku. Biarkan aku menanti gadis ini di sana lebih dulu…
Tak apa jika Engkau memang tidak memberiku
kesempatan untuk mengatakan perasaan ini, toh memang akulah yang telah
menyia-nyiakan waktu 1 tahun itu. Aku sungguh tidak peduli jika perasaan ini berakhir
tanpa ia mengetahuinya. Aku juga tidak peduli jika surat yang kutulis malam itu tidak sempat
terbaca olehnya. Surat
itu…kini mungkin masih tertinggal di tempat itu, lalu akhirnya hilang ditelan
kegelapan malam bersama rangkaian kata-kata yang kutulis di dalamnya.
Tapi satu hal yang kuinginkan saat ini, Tuhan. Satu
hal yang akan kujadikan sebagai permintaan terakhirku sebelum hati ini
benar-benar membisu.
Aku ingin agar ia selalu mengenangku, mengingat
bahwa seorang Kim Jaejoong yang bodoh pernah hidup di dunia yang bising ini
dengan umurnya yang pendek. Ia pernah berdiri di antara miliyaran orang di bumi,
lalu bertemu dengan seorang gadis bernama Kisa dan menghabiskan 1 tahun
terakhirnya bersama gadis itu. Aku ingin ia mengingat bahwa Kim Jaejoong yang
bodoh ini pernah menemaninya melihat festival kembang api ketika masih bisa
bernafas. Aku tidak ingin memori keberadaanku hilang begitu saja ditelan waktu,
tanpa meninggalkan apapun.
Tuhan…
Aku mencintai gadis ini lebih dari aku mencintai denyut
nadiku sendiri, lebih dari aku mencintai nafasku sendiri. Gadis yang tengah
memelukku ini, ia telah menjadi bagian dari hidupku. Lebih dari itu, ia adalah
separuh nyawaku. Karena itu, biarkanlah ia menikmati indahnya dunia ini jauh
lebih lama dariku. Aku ingin menitipkan sisa-sisa semangat hidupku padanya,
berharap ia sempat mengecap kebahagiaan di dunia ini. Dan dengan begitu aku
akan tenang melihatnya dari sana .
Masih banyak
harapan yang ingin kusampaikan, tapi suara hati ini semakin lama semakin
melirih, dan akhirnya membisu. Suara isakannya tidak lagi terdengar di
telingaku, tergantikan oleh keheningan abadi yang menakutkan. Air mata tiba-tiba
saja mengalir dari sudut mataku seiring perasaan damai yang semakin menarikku
tenggelam ke dalamnya. Dan aku tahu, waktuku telah habis.
***
A/N : Comment Please!!!
No comments:
Post a Comment